kenalan dengan suku Baduy dari Banten..
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah
penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di
kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal
dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok
masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan
oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten
enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah
pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka
yaitu “urang kenakes” atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal
daerah mereka yang tinggal di Kenakes.
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat istiadat dan sangat
menjaga alam sekitarnya. Karena mereka sadar mereka hidup oleh alam dan
berdampingan dengan alam. Banyak ajaran suku baduy yang berupa larangan
bila diabaikan akan terkena hukum alam.
Di provinsi Banten terdapat suku asli yaitu suku baduy dalam dan suku
baduy luar. Suku baduy dalam masi menjaga tradisi, adat istidat dan anti
modernisasi baik cara berpakaian, pola hidup dan lainnya. Sedangkan
suku baduy luar masih menjaga tradisi dan adat istiadat tetapi sudah
mampu beinteraksi dengan masyarakat dari luar suku baduy.
Menurut para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan
Kerajaan Pajajara. Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran
memerintahkan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng.
Lalu para prajurit bermukim dan bertugas disana. Dengan kesimpulan
bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang diutus oleh Pangeran
Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat luar agar tidak
diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada
tahun 1982 dan megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa
masyarakat suku baduy sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli
wilayah tersebut. Dan dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah
tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat
baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan
(ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut suci atau mandala.
Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh memegang teguh kepercayaan
tersebut.
KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama
Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh”
atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting
dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang
pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah
lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya
menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan
rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak
rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca
domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi
rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk
melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut
terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang
tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan
berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan
tanda bahwa panen akan gagal.
BAHASA SUKU BADUY
Suku baduy menggunakan bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi
dengan masyarakat sekitar. Masyarakat suku baduy menegerti bahasa
indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka
tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas
sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut mereka pendidikan
sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.
KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan
kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama
Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh”
atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting
dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang
pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah
lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya
menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan
rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak
rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca
domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi
rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk
melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut
terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang
tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan
berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan
tanda bahwa panen akan gagal.
PEMBAGIAN MASYARAKAT BADUY
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar
dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut dengan baduy luar atau
urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes. Mereka berjumlah
sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka
tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang
mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan
masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar
antara lain:
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik,
meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga
Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
• Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan
alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya
dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk
laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan
pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
• Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang
Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di
Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan
belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy
dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada
saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung)
dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang
beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang
Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan
Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa
dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan
pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih
memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan
orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara
Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan
warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih
dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam
pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy
dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan
yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian
modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai
kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil
berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi,
seperti Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut
Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan
kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan
nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang
Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat
dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik,
Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan
wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai
juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah
pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa
yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan
dan Baris Kokolot.
MATA PENCHARIAN SUKU BADUY
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam
padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit
kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal
berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda
Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa
ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke
wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan
kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy
sendiri.
Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat
Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri,
baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai
krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi
kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan
itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip
hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak
membeli baju, tapi menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat
rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan
kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di
Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik
mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku
Baduy.
Kemandirian mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang
kota, antara lain tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan,
mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak
menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi
sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa,
lumbung padi, dan sebagainya.
INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti
adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya
Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam
wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara
rutin melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten
(Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,
palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur
Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian,
penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya
dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara Barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para
Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk
menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain
tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun
atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang
bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk
sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga
senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang
pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar