Kamis, 26 November 2015

Seperti apasih adat masyarakat baduy itu ?? cekidot ^^

kenalan dengan suku Baduy dari Banten.. 
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu “urang kenakes” atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di Kenakes. 

 
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat istiadat dan sangat menjaga alam sekitarnya. Karena mereka sadar mereka hidup oleh alam dan berdampingan dengan alam. Banyak ajaran suku baduy yang berupa larangan bila diabaikan akan terkena hukum alam.
Di provinsi Banten terdapat suku asli yaitu suku baduy dalam dan suku baduy luar. Suku baduy dalam masi menjaga tradisi, adat istidat dan anti modernisasi baik cara berpakaian, pola hidup dan lainnya. Sedangkan suku baduy luar masih menjaga tradisi dan adat istiadat tetapi sudah mampu beinteraksi dengan masyarakat dari luar suku baduy. 

Menurut para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara. Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim dan bertugas disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh memegang teguh kepercayaan tersebut.

KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan tanda bahwa panen akan gagal.


BAHASA SUKU BADUY
Suku baduy menggunakan bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Masyarakat suku baduy menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.


KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan tanda bahwa panen akan gagal.
PEMBAGIAN MASYARAKAT BADUY
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar antara lain:
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
• Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
• Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
MATA PENCHARIAN SUKU BADUY
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar